Oleh: Didik Novi Rahmanto, M.H
(Satgas Penindakan di Direktorat Penindakan BNPT, Mahasiswa doktoral di Departemen Kriminologi UI)
Peristiwa serangan terror yang terjadi menjelang bulan Ramadan kali ini meninggalkan kesedihan dan kisah pilu yang begitu mendalam. Selain menelan sejumlah korban, serangan teror tersebut juga melibatkan seluruh anggota keluarga. Sampai pada titik ini publik tentu bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi? Benarkah aksi terorisme sekeluarga ini bagian dari jihad versi baru?
Sebagaimana diketahui, tak lama setelah kejadian, kelompok teroris internasional ISIS mengklaim berada di balik serangan keji ini. Klaim ini tentu bukan tanpa alasan, kelompok ISIS telah lama menyerukan pentingnya membawa serta seluruh anggota keluarga untuk melakukan ‘jihad’. Hal ini tampak misalnya, dari seruan mereka kepada para pengikut dan simpatisannya untuk membawa anak dan istri ‘hijrah’ ke Irak dan Suriah yang mereka klaim sebagai Negara Islam.
Bagi ISIS, keberadaan keluarga dipandang penting untuk mendukung keberhasilan ilusi mereka mendirikan negara (kekuasaan) beradasarkan ajaran agama Islam –yang tentu saja telah mereka manipulasi sedemikian rupa-. Meski begitu, sebagaimana diragukan sejumlah pihak, ISIS tak pernah benar-benar mengeluarkan perintah resmi untuk mengajak serta seluruh anggota keluarganya melakukan aksi bom diri.
Sama halnya dengan sejumlah kelompok teroris lainnya, ISIS memandang bahwa fighter, dalam artian petarung, jihad adalah laki-laki. Sementara perempuan dan anak-anak difungsikan sebagai pendukung. Hal ini ditunjukkan dengan pembagian tugas dan peran yang diberikan ISIS kepada keluarga pengikutnya, di mana suami bertindak sebagai fighter dan istri bertugas menanamkan nilai-nilai ISIS kepada anak-anak mereka serta merawat anggota yang terluka.
Model pembagian tugas tersebut diduplikasi oleh banyak kelompok teroris yang lain. Di Indonesia misalnya, kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) juga membawa serta istri mereka ke tempat persembunyian di hutan dan perbukitan di wilayah Poso, namun para istri ini tak pernah benar-benar dilibatkan dalam aksi terror. Keberadaan mereka hanya difungsikan untuk membantu dan ‘menghibur’ anggota MIT yang sedang bersembunyi menghindari kejaran aparat.
Tak Melalui Suami
Keterlibatan perempuan dalam aksi teror justru diduga kuat disebabkan oleh glorifikasi kisah-kisah serangan bom bunuh diri yang dilakukan oleh perempuan di negara-negara konflik, seperti Palestina, Chechnya dan Irak. Perempuan-perempuan yang berada di dalam jaringan terorisme disebut sejumlah kalangan mulai menginginkan keterlibatan yang lebih dalam. Mereka ingin melakukan sesuatu yang lebih; tak hanya mendidik dan merawat, tetapi juga turun langsung ke medan jihad.
Para perempuan ini juga disebut memiliki keinginan kuat untuk menggapai surga tak hanya melalui suami, tetapi juga dari usaha mereka sendiri. Terutama, perempuan selama ini tak pernah diperlakukan setara dengan laki-laki; mereka dipandang sebagai kelompok kelas dua. Karenanya, turun langsung ke medan perang, termasuk dengan menjadi pelaku bom bunuh diri, dipandang sebagai kesempatan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa perempuan pun bisa melakukan banyak hal, termasuk hal-hal yang tak disanggupi laki-laki.
Selain itu, perempuan juga termasuk dalam unexpected actors (pelaku tak terduga) untuk kejahatan terorisme. Hal ini membuat perempuan memiliki potensi mengelabuhi, baik aparat maupun masyarakat, yang lebih besar dibanding laki-laki.
Peredaran informasi yang semakin tak terbatas juga memainkan peranan penting dalam keterlibatan perempuan di gerakan dan kelompok terorisme. Salah satu yang mencengangkan adalah soal isu kesetaraan. Kelompok teroris, seperti dijelaskan Lies Marcoes dalam “Why Do Indonesian Women Join Radical Groups?”, memandang bahwa kelompok radikal juga menggunakan isu kesetaraan. Hal ini mereka praktekkan dengan memberi apresiasi dan kesempatan sekaligus dorongan, kalau bukan malah paksaan, kepada perempuan untuk ikut menegakkan khilafah di dunia.
Perempuan Juru Damai
Keterlibatan perempuan dalam aksi-aksi kekerasan sejatinya bertentangan dengan kodrat alami mereka. Berbagai studi tentang perempuan menunjukkan bahwa perempuan memiliki potensi damai yang jauh lebih besar daripada laki-laki. Salah satu indikatornya adalah ‘kepercayaan’ Tuhan untuk menitipkan benih kehidupan, dalam bentuk janin, hanya kepada perempuan.
Perempuan juga diketahui memiliki sifat mengayomi dan merawat yang lebih besar daripada laki-laki. Karenanya, kekerasan dan penghancuran terhadap kehidupan sejatinya bertentangan dengan kodrat perempuan.
Perempuan juga umumnya memiliki kedekatan emosional yang lebih baik kepada anak-anaknya. Hal ini ini pula yang menjadi salah satu alasan kelompok radikal terorisme melibatkan perempuan dalam gerakannya. Melibatkan perempuan berarti menyeret anak-anak mereka untuk jatuh ke jurang yang sama, terorisme. Penelitian yang dilakukan oleh Van de Linde dan Van der Duin yang diterbitkan di jurnal Technological Forecasting and Sosial Change 78.9, 2011, menyebut perempuan mempunyai peran kompleks ketika melibatkan diri dalam mendukung dan mendorong kekerasan relijius.
Hal ini seharusnya menjadi kesempatan bagi kita, tak hanya terbatas pada negara, untuk kembali meneguhkan kodrat perempuan sebagai agen perdamaian. Sebagai langkah awal, kita bisa mulai dengan melakukan eliminasi terhadap marjinalisasi dan stereotip terhadap perempuan. Perempuan adalah juru perdamaian, di tangan-tangan mereka, narasi damai anti kekerasan dapat diciptakan dan disebarkan.