Umumnya orang memahami pendidikan sebagai sebuah kegiatan yang mulia, mengandung kebajikan dan berwatak netral. Namun kenyaaannya, pendidikan yang selama ini diasumsikan sangat sakral dan penuh kebajikan, menyimpan permasalahan-permasalahan mendasar. Salah satu contohnya adalah bagaimana pendidikan memposisikan manusia atau peserta didik itu sendiri. Apakah sistem pendidikan selama ini mempraktekan proses humanisasi atau malah dehumanisasi?
Sistem pendidikan dewasa kini banyak menerapkan antagonisme pendidikan seperti yang dijabarkan oleh Freire. Antagonisme pendidikan itu seperti;
Freire menyebut sistem pendidikan itu dengan gaya bank. Bila ditelisik lebih jauh, ternyata model belajar seperti dalam antagonisme di atas biasa kita temukan di sekolah-sekolah di sekitar kita. Model pendidikan seperti ini menempatkan guru sebagai pusat dari pengetahuan. Guru adalah segala-galanya bagi siswa. Akibat dari produk semacam ini akan lahir siswa-siswa yang kurang kreatif, ketakutan yang akut sehingga tidak merasa bermasalah dengan ketakutannya.
Selama ini peserta didik dihadapkan pada sistem pendidikan dengan gaya bank. Dalam sistem bank, anak didik dilihat sebagai benda, seperti wadah untuk menampung sejumlah rumusan/dalil pengetahuan. Semakin banyak isi yang dimasukkan oleh gurunya dalam “wadah” itu, maka semakin baiklah gurunya. Karena itu semakin patuh wadah itu semakin baiklah ia. Jadi, dalam sistem bank, murid/nara didik diperlakukan seperti robot yang hanya menghafal seluruh yang diceritakan oleh gurunya tanpa mengerti makna yang terkandung di dalamnya.
Dalam sistem ini, anak tidak dilihat sebagai manusia merdeka, dinamis dan punya kreasi sendiri, di sinilah matinya humanisasi. Peserta didik dianggap sebagai objek bukannya subjek, itulah yang dikritik oleh Freire dari sistem (model) pendidikan gaya bank.
Problem pendidikan seperti inilah yang kemudian menghasilkan manusia-manusia robot yang telah tercerabut kesadarannya mengikuti kesadaran kolektif yang telah digariskan secara turun temurun. Untuk merubah sistem bank, Freire mempunyai alternatif yaitu sistem yang dinamakan "problem-posing education" atau "pendidikan hadap masalah" yang memungkinkan konsientisasi. Dalam konsientisasi, guru dan murid bersama-sama menjadi subyek yang disatukan oleh obyek yang sama. Tidak ada lagi aktor tunggal yang berpikir dan memikirkan dan yang lainnya tinggal menelan, tetapi menjadi kegiatan aktif dengan berpikir bersama. Guru dan murid harus secara serempak menjadi murid dan guru. Dialog menjadi unsur sangat penting dalam model pendidikan ini.
Dengan sistem pendidikan hadap masalah, proses humanisasi terjadi. Manusia tidak hanya bereaksi secara refleks seperti binatang, tetapi secara aktif memilih, menguji, mengkaji dan mengujinya lagi sebelum melakukan tindakan. Dalam relasi seperti itu, manusia berkembang menjadi suatu pribadi yang lahir dari dirinya sendiri.